Pak Joko dan Kesetiaan 1000 hari

Ia menyebut dirinya Joko Bromo.
“Nanti kalau mbak mau ke sini, hubungi saja saya mbak. Tulis saja Joko Bromo lalu ia menyebut nomor handphonenya”

Saya terkekeh, Joko Bromo padanan kata yang tepat. Huruf o-nya cocok.

Saat itu saya dalam perjalanan dari Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, melawat Bromo menuju jalan pulang ke arah Tumpang, Jawa timur. Pak Joko ini adalah bagian dari suku yang mendiami daerah sekitar bromo. Mereka menyebut dirinya sebagai suku Tengger. Menurut definisi yang saya dapat dari Pak Joko, suku tengger adalah masyarakat yang mendiami pegunungan tengger dengan Gunung Bromo sebagai pusatnya. Jadi sebenarnya suku tengger tidak hanya yang ada di daerah bromo ini tapi di daerah utara, barat, timur, selatan asalkan ia berkiblat terhadap bromo. Maka ia disebut sebagai suku tengger meskipun dipisah oleh garis administrasi wilayah.

Saya manggut-manggut. Maklum baru tahu.

Banyak hal menarik yang saya dapatkan selama berbincang dengan beliau. Ayah dua anak ini menggambarkan wilayah yang ia diami ini dengan baik. Ini yang disebut dengan ojek paket lengkap. Ojek sekalian tour guide.
Ia menenangkan saya saat bertanya panik untuk mengambil foto di daerah savana.
Saya berseru kepada abang saya untuk tidak terlalu jauh mengambil spot foto.
“Hati-hati jangan terlalu jauh. Ntar ada ular”

“Tenang mbak. Di sini nggak ada ular. Nyamuk aja nggak ada. Mereka tidak tahan dengan suhu di sini”

“Dengan ketinggian di atas 2000an m kita tidak perlu takut akan ancaman ular maupun nyamuk”

Syukurlah. Tenyata dataran tinggi di sini memiliki keuntungan juga. Snake bite dan malaria tidak akan menjadi penyebab no 1 kematian pikirku. *Liburan masih berpikir mengenai prevalensi penyakit hadeeh*

Selama perjalanan ini mood saya bagus banget. Mungkin karena pemandangannya ciamik, udara dingin nan segar membuat saya cerewet untuk bertanya ini itu ke ojek yang saya tumpangi dari gunung Bromo ini.

Ia menceritakan bahwa anak pertamanya saat ini kelas 2 SMA dan TK. Saya pun panasaran atas jauhnya jarak umur antar kedua anaknya. Belakangan saya tahu, bahwa istri pertamanya telah meninggal.

“Di adat kami.. “

ia berhenti sejenak kemudian berlanjut

“Jika seorang suami benar-benar mencintai istri yang telah meninggal. Maka ia tidak boleh menikah selama 1000 hari”

 Trus setelah seribu hari bapak nikah nggak?

“Tidak mbak. Saya menikah bertahun-tahun kemudian ketika saya menyadari bahwa anak saya butuh sosok ibu untuk tumbuh. Saat itu saya memutuskan untuk menikah”

Saya tertegun. Baru mengerti arti diam sejenaknya di awal tadi.

Saya yakin, cukup berat untuk menceritakannya. Tapi beliau dengan tegar mau berbagi sekelumit kisahnya dan sang istri.

Pelan-pelan saya coba menghiburnya

“Waaah… Bapak keren banget ya.. Sayang banget sama istrinya”

“Iya mbak. Hidup kami pas-pasan namun kami bahagia. Istri saya hanya seorang guru honorer yang mengabdi berahun-tahun. Bahkan hingga ia meninggal, ia masih berstatus honorer. Di akhir hidupnya, impiannya untuk menjadi PNS tidak terwujud seperti yang dijanjikan oleh atasannya”

“Saya masih mengingat istri saya mbak. Terkadang saya merasa heran dengan artis-artis di kota yang mudah sekali untuk kawin cerai hanya karena masalah sepele”

“Hahaha…” saya tertawa. Ah bapak, rajin juga nonton infotainment

“Meskipun kami orang desa, orang kampung. Saya dan istri berpikir  untuk tidak main-main dengan pernikahan. untuk menikah ya harus menerima segala baik buruknya pasangan, harus menerima segala perbedaaan dan konsekuensinya”

“Wah.. iya Pak… bener itu. Saya setuju”

“Bahkan di akhir hidunya. Kami saling mencintai meskipun banyak sekali rintangan yang kami hadapi”

“Rintangan apa pak?” tanya saya selidik

Saya Hindu dan istri saya muslim

Saya pun terdiam. Kaget.

“Kami menyadari ada jurang besar yang memisahkan kami. Tapi Alhamdulillah, kami dapat melewatinya bersama-sama. Bahkan sampai saat ini saya memberikan kebebasan untuk anak saya dalam memilih agama yang ia anut. Ia memilih untuk menjadi muslim. “

Saya tidak bertanya lebih jauh. Karena masalah agama pastilah hal yang sangat sensitif untuk dibahas.

Saya memandang ke belakang bukit teletabis yang makin mengecil, motor kami terseok mulai memasuki jalan tanah berbatu menanjak yang rusak. Jalanan pasir hitam tebal yang licin mulai berganti dengan jalanan tanah. Tanda kami mulai meninggalkan bromo

Meskipun dalam beberapa hal saya memiliki perbedaan pandangan dengan pak Joko. Namun saya sangat menghargai kesetiaannya untuk sang istri.

Kesetiaan dalam 1000 hari.

Pak Joko dan Saya

Pak Joko dan Saya

Leave a comment